Kamis, 16 Agustus 2012

KEMENANGAN YANG TERKALAHKAN

Detik-detik menjelang perayaan HUT RI ke-67 tahun ini terasa cukup istimewa. Dirasa seperti demikian mengingat perayaan HUT RI berbarengan dengan penghujung bulan Ramadhan 2012 yang mana keduanya memiliki persamaan linguistik dan etimologi yang mengakar bagi masyarakat Indonesia. Persamaan tersebut terangkum dalam sebuah kata yang familiar di telinga kita yaitu, Kemenangan. 

Kemerdekaan sebagai Sebuah Kemenangan

Kemerdekaan bangsa dan negara kita secara de facto tersiar ke seluruh antero negeri kita, ketika Bung Karno mengumandangkan naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jakarta. Seluruh rakyat terutama yang telah terhubung oleh radio mendengarkan Pidato Sang Proklamator dengan perasaan haru dan gembira yang membuncah setelah lebih dari tiga ratus tahun kita terkungkung dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme barat. Tak ayal, euforia kemerdekaan dimaknai sebagai kemenangan tekad dan semangat elemen seluruh bangsa dan negara untuk melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh para penjajah. Maka terhitung sejak itulah kita menamakan bangsa kita sebagai bangsa yang MERDEKA. 

Sudah barang tentu menjadi kewajiban seluruh rakyat dan pemerintah pada zaman itu dan sekarang untuk terus mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman kaum imperialis, kolonialis, dan feodalis yang semata-mata menguras kekayaan bangsa di atas air mata dan darah bumi pertiwi, Indonesia. Hal tersebut terlihat dari historis bangsa kita dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949), dimana seluruh anak negeri bersatu padu melawan kekuatan asing yang mencoba kembali mengoyak negeri ini. Tak terhitung berapa nyawa yang harus dipertaruhkan. Tak lagi bisa diukur berapa banyak cucuran darah para pejuang dan tangisan ibu-ibu yang merelakan anak dan suaminya bertempur di medan laga. Meski tiada persenjataan yang memadai. Kemampuan bertempur yang sederhana dan segudang kekurangan pada masa itu tetapi semuanya rela dilakukan dan dikorbankan demi sebuah nama, Kemerdekaan.

Oleh karena itulah, kemerdekaan jauh lebih dimaknai sebagai kemenangan batiniah daripada sekadar kemenangan harfiah belaka. Hal ini jika ditarik kepada perspektif yang lebih dalam, memunculkan sebuah definisi sederhana namun memiliki makna yang mengakar dalam hati sanubari seorang Indonesia tentang kemerdekaan itu sendiri. Bahwa kemerdekaan adalah sebuah kemenangan anak bangsa yang diperoleh dengan niat dan motivasi yang kuat untuk mencapai perikehidupan kebangsaan yang lebih baik dan mulia.

Idul Fitri sebagai Sebuah Kemenangan 

Sama halnya dengan Peringatan HUT RI, Hari Raya Idul Fitri adalah sebuah hari kemenangan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa yang mana di dalamnya manusia sedang bertempur melawan hawa nafsunya sendiri. Selama satu bulan setiap orang mukmin diwajibkan menahan lapar, dahaga, marah, dan syahwatnya untuk mencapai tingkatan kehidupan ukrawi yang lebih tinggi. Peperangan ini jauh lebih berat mengingat peperangan ini terlihat bersifat individualistik namun jika ditelaah lebih dalam terdapat unsur kesalehan sosial yang merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat. Maka tak ayal jika Pemimpin Besar Muslim Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa berperang melawan hawa nafsu diri sendiri adalah peperangan yang paling besar, sebagaimana diucapkan oleh Muhammad SAW sepulangnya dari pertempuran besar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy di Badar. 

Puasa mendidik kita untuk ikut merasakan kehidupan mereka yang papa. Puasa mendidik kita menjadi orang yang lebih sabar dalam menghadapi permasalahan dengan orang lain. Puasa mengajari kita untuk lebih menghargai mereka yang berbeda. Puasa mendidik kita untuk menahan syahwat yang terkadang tidak terkontrol dan merupakan cikal bakal rusaknya moral. Puasa memberikan waktu kepada kita untuk menjalin silaturahmi. Puasa mengajarkan kita lebih banyak memberi daripada menerima. Puasa mengajarkan kita untuk lebih banyak tunduk daripada mendongak lewat ibadah-ibadah mahdlah yang diberikan waktu lebih panjang daripada hari-hari di luar bualan Puasa. Puasa mengajarkan kita untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan masih sederet lagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 

Jika kita menelaah sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, puasa mengandung nilai-nilai kesalehan sosial yang membangun masyarakat. Perspektif filosofis tentang makna Puasa dan Idul Fitri memunculkan definisi bahwa Idul Fitri adalah kemenangan mutlak seorang manusia untuk menjadi manusia yang lebih mulia tingkatannya di hadapan Tuhan dan terciptanya harmoni kehidupan bermasyarakat. 

Realita Kemenangan

Makna dan definisi yang telah disebutkan di atas menjadi bias begitu kita melihat kepada realita sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat kita. Kemerdekaan dianggap belum tercapai secara sempurna. Masih banyak di antara kita yang merasakan ketidakadilan sosial sehingga memunculkan friksi-friksi yang menjurus ke arah kriminalitas dan menurunkan standar moral kehidupan bermasyarakat. 

Ketidakadilan menjadi suatu permasalahan bangsa yang harus dicarikan penyelesaiannya. Karena jika tidak, ketidakadilan akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan perkebangsaan kita. Selama kata-kata “kami” dan “kamu” masih lebih mendominasi daripada kata “kita”, tentu semangat integralistik keadilan sosial hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. 

Kita saat ini membutuhkan pemikiran yang bersumber dari nurani bukan dari sekadar logika rasional yang empiris. Keteladanan sosial dengan menyusun skala prioritas kebangsaan perlu untuk ditunjukkan oleh para pemimpin kita dan terlebih diri kita sendiri. 

Bukankah itu merupakan hasil yang ingin dicapai dengan ibadah puasa kita ? 

Jika kita tidak menyadari itu tentu kita akan terjebak dan kembali tersekat oleh isu-isu sensitif masalah primordialisme dan ekslusivisme kelompok-kelompok. 

Bukankah salah satu esensi puasa kita adalah untuk menciptakan silaturahmi ? Namun mengapa kita malah memutusnya ?

Jika kita tidak menyadari itu tentu kita akan terkungkung dalam definisi sempit pluralisme dan multikulturalisme yang akhirnya kembali mengotak-ngotakkan kita kepada paham sempit berbau SARA.

Bukankah esensi puasa kita adalah untuk mampu merasakan penderitaan mereka yang papa?
Jika kita tidak menyadarinya tentu hedonisme yang akan tumbuh subur dan semakin lebarnya gap inter-kelas-sosial yang pada akhirnya justru muncul madzhab “asal perut kenyang, resiko ntar dlu lah”. 
Bukankah dan jika yang lain akan segera bermunculan jika terus menggali sampai dasar. Namun penulis membatasi pada yang terjadi di dalam kelas sosial penulis bukan pada tataran di atasnya. Tentu jika ditelisik lebih jauh, maka lebih rumit lah permasalahan sosio-kultural kita yang terkoyak-koyak ini. Dan sentimen negatif serta jebakan sosio-politik akan semakin nampak.

Akhirnya, kembali penulis tegaskan mari kita bergandeng tangan bahu membahu membangun diri kita dan memberikan keteladanan pada lingkungan sosial kita agar kita terus mampu beribadah sebagai wujud kesalehan sosial kita. 

Sebagai penutup, permasalahan kemenangan mari kita simpan secara pribadi serta kita kaji pula secara pribadi sebagai rangkaian muhasabah karena permasalahan menang atau kalah atau bahkan mengalah sekalipun adalah urusan hati kita dengan diri kita dengan saksi yang paling adil yaitu Tuhan. 

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-66 
dan 
Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri 1433 H.


copyright __Maulana Hikam__
Profil Penulis https://www.facebook.com/maulana.hikam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar